DEMI TUHAN (ALLAH SWT), BANGSA INDONESIA DAN UKHTI LYLA...

Selasa, 19 Januari 2010

Dimanakah Bahagia?

Pendidikan, kepandaian formal, kehidupan modern terkadang tidak selalu menawarkan
kearifan untuk memperoleh, merasakan hidup yang bahagia. Karena masih banyak yang beranggapan bahwa nilai kebahagiaan di ukur dengan kebendaan, status sosial di lingkungannya. Seumpama, harus memiliki seperti yang dimiliki orang lain. Terobsesi, mendambakan sesuatu yang tidak realistis; yang akhirnya malahan menjerumuskan pada keadaan yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Berapa banyak peladang, petani yang meninggalkan tanahnya. Mereka tergoda dan kemudian
berbondong-bondong ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
Tanah garapan, danau, situ diurug; berubah fungsi menjadi pabrik, pertokoan, perumahan; dibangun
atas nama kemajuan, tapi sekedar nafsu mencapai kebahagiaan yang mungkin sesaat dan semu.
Berapa banyak para cerdik pandai justru menyalahgunakan kepandaiannya demi mencapai ambisi,
mencari keuntungan pribadi semata.
Berapa banyak orang-orang kaya, pejabat yang tamak, serakah tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki,
sehingga masih tega mengambil yang bukan menjadi haknya.

Padahal, beberapa penggalan ayat di kitab suci menyatakan,
Allah yang menurunkan air dari langit kemudian menumbuhkan tanaman untuk dapat dinikmati dengan
tidak berlebih-lebihan. Allah yang menundukkan lautan agar dapat kita dapat mencari karuniaNya dan
agar dapat kita bersyukur.
Jadi tampaknya, menjalani hidup tidak berlebihan, pandai bersyukur adalah pintu menuju hidup bahagia.
Bukankah demikian?
***************
Saya pernah mendengar sebuah kisah bersayap. Kisah tentang orang-orang yang mendapatkan dan
memaknai kebahagiaan dengan cara yang sederhana.

Ada seorang kaya yang berpendidikan tinggi dan memiliki sederetan gelar akademis berlibur di sebuah
desa. Lalu ia bersua dengan seorang penduduk yang sedang memancing.
Orang kota itu terheran-heran, karena setelah mendapat seekor ikan yang besar si penduduk segera
pulang.
Orang kaya itu pun kemudian mengamati apa yang dilakukan oleh penduduk dengan tangkapan ikannya.
Dengan menu seekor ikan besar, si penduduk kemudian bersantap bersama keluarganya.
Setelah selesai makan ia beranjangsana ke tetangga, ia main catur kemudian sore harinya ia pergi
bersama anaknya, tetangganya ke surau desa, mengaji, menimba ilmu kehidupan dan bersilaturahmi.
Begitu runtut pola kehidupannya; hampir setiap hari.
Orang kota ini begitu penasaran, melihat di sungai begitu banyak jenis ikan-ikan besar berlimpah ruah.
Mengapa mereka tidak menangkap ikan yang lebih banyak?
" Buat apa?" jawab si penduduk.
" Ikan tangkapan yang banyak di jual dan uangnya bisa di belikan jaring yang besar," saran orang kota.
" Buat apa membeli jaring yang besar?"
" Agar cepat memperoleh ikan yang lebih banyak lagi, kemudian dijual dan bisa membeli perahu,"
" Lalu buat apa jika sudah punya perahu?" tanya penduduk itu lagi.
Orang kota yang terpelajar dan kaya itu tercekat tak bisa menjawab.
Melihat orang kota yang diam termangu, si penduduk kemudian melanjutkan bicaranya.
" Bukankah pada akhirnya supaya kita bisa makan ikan bersama keluarga, setelahnya kita masih punya
waktu bercengkerama bersama keluarga, bersilaturahmi dengan tetangga, dan mengaji di surau?"

Sumber : Meilany

0 komentar:

Posting Komentar

Modified by Blogger Tutorial

Sepatah Kata ©Template Nice Blue. Modified by Indian Monsters. Original created by http://ourblogtemplates.com

TOP